Di tengah mahalnya harga minyak tanah dan elpiji, Muhammad Nurhuda, seorang dosen Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, mencoba memberikan solusi alternatif.
K16-11 M Nurhuda, Dosen Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, yang berhasil menciptakan kompor berbahan cangkang. Selasa (14/6/2011).
Nurhuda berhasil menciptakan kompor Biomass UB 03-1 dengan bahan bakar yang ia istilahkan "cangkang", yaitu kulit atau batok kelapa sawit. Kompor tersebut bersistem semi-gasifikasi dengan konsep pre-heating, counter flow, air flow regulation, dan diffused combustion (baur).
Kompor tersebut tidak memerlukan listrik sama sekali. Semua aliran udara berjalan secara alami. Api menyala dengan sempurna, dan jika digunakan untuk memasak hasilnya terlihat memuaskan.
Saat ditemui di kampus Universitas Brawijaya, Selasa (14/6/2011), Nurhuda menyampaikan kepada Kompas.com bahwa isi tabung untuk kompor "cangkang" ini maksimum 1 kilogram. "Adapun laju pembakaran sebesar 10 gram per menit. Kalau sudah diisi, maka kompor akan mampu menyala selama 100 menit secara terus-menerus. Bisa juga jika hanya menggunakan separuh isi tabung, tergantung kebutuhan dan lamanya api yang diharapkan untuk memasak," katanya.
Secara teknis, kompor ini dapat langsung dimatikan meski bahan bakar di dalam kompor masih banyak. "Dibandingkan dengan elpiji dan minyak tanah, ini jauh lebih irit. Beli elpiji Rp 4.200 per kg dengan konten energi 46,6 per kg, sementara kebutuhan per bulan 12 kg. Jika demikian, belanja per bulan yang harus dikeluarkan adalah Rp 50.400," katanya.
Berbeda dengan kompor biomass dari bahan "cangkang". Nurhuda mengungkapkan bahwa bahan bakar dan harga per unitnya senilai Rp 300 per kg. Ini harga "cangkang" di Sumatera dan di Kalimantan. Di Jawa, kalau ada, harga "cangkang" senilai Rp 1.000 per kg. "Adapun konten energi 20 per kg dengan kebutuhan per bulan sebanyak 36 per kg. Jika demikian, maka uang yang harus dikeluarkan selama sebulan adalah Rp 10.800. Itu untuk di Sumatera dan Kalimantan. Kalau di Jawa hanya butuh Rp 36.000," bebernya.
Lebih lanjut, Nurhuda mengatakan bahwa produksi kelapa sawit di Indonesia pada 2010 diperkirakan sekitar 100 juta ton. Dari jumlah tersebut dihasilkan CPO sebesar 24 persen. Cangkang sawit sebagai limbah berjumlah sekitar 5 persen dari TBS atau 5 juta ton per tahun.
"Jika digunakan untuk bahan bakar kompor Biomass UB-03-1 berbahan bakar 'cangkang' dengan kebutuhan rata-rata harian sebesar 1 kg per keluarga, maka jumlah tersebut mencukupi kebutuhan 13 juta keluarga di Indonesia," katanya.
Karena cangkang tersedia di Sumatera dan Kalimantan, penduduk dua wilayah tersebut dapat mencukupi kebutuhan energi mereka.
"Bila limbah-limbah lain, misalkan sabut kelapa sawit atau blotong-nya digunakan sebagai pelet, maka akan banyak lagi keluarga yang dapat mencukupi kebutuhannya dari limbah kelapa sawit. Ada juga bahan bakar alternatif selain 'cangkang', yakni jerami padi, tebon jagung, kaul padi, blotong tebu, dan blotong aren," ungkapnya.Bahan alternatif tersebut juga dapat menghasilkan nyala api biru, asalkan dibentuk dalam bentuk pelet, yaitu briket dalam ukuran yang lebih kecil. "Dengan karya saya ini, kami hanya mengimbau, biomass jangan diekspor ke luar negeri karena unsur hara tanah dan berbagai mineral akan berpindah ke negeri orang," katanya.
Jika ekspor biomass di Indonesia diteruskan, maka Indonesia akan kering dan tandus karena tanah akan kehilangan unsur haranya. "Semoga Indonesia tak selalu membuang kekayaannya. Semoga Indonesia tak membuat rakyatnya miskin di negeri yang kaya," harapnya.
Nurhuda berhasil menciptakan kompor Biomass UB 03-1 dengan bahan bakar yang ia istilahkan "cangkang", yaitu kulit atau batok kelapa sawit. Kompor tersebut bersistem semi-gasifikasi dengan konsep pre-heating, counter flow, air flow regulation, dan diffused combustion (baur).
Kompor tersebut tidak memerlukan listrik sama sekali. Semua aliran udara berjalan secara alami. Api menyala dengan sempurna, dan jika digunakan untuk memasak hasilnya terlihat memuaskan.
Saat ditemui di kampus Universitas Brawijaya, Selasa (14/6/2011), Nurhuda menyampaikan kepada Kompas.com bahwa isi tabung untuk kompor "cangkang" ini maksimum 1 kilogram. "Adapun laju pembakaran sebesar 10 gram per menit. Kalau sudah diisi, maka kompor akan mampu menyala selama 100 menit secara terus-menerus. Bisa juga jika hanya menggunakan separuh isi tabung, tergantung kebutuhan dan lamanya api yang diharapkan untuk memasak," katanya.
Secara teknis, kompor ini dapat langsung dimatikan meski bahan bakar di dalam kompor masih banyak. "Dibandingkan dengan elpiji dan minyak tanah, ini jauh lebih irit. Beli elpiji Rp 4.200 per kg dengan konten energi 46,6 per kg, sementara kebutuhan per bulan 12 kg. Jika demikian, belanja per bulan yang harus dikeluarkan adalah Rp 50.400," katanya.
Berbeda dengan kompor biomass dari bahan "cangkang". Nurhuda mengungkapkan bahwa bahan bakar dan harga per unitnya senilai Rp 300 per kg. Ini harga "cangkang" di Sumatera dan di Kalimantan. Di Jawa, kalau ada, harga "cangkang" senilai Rp 1.000 per kg. "Adapun konten energi 20 per kg dengan kebutuhan per bulan sebanyak 36 per kg. Jika demikian, maka uang yang harus dikeluarkan selama sebulan adalah Rp 10.800. Itu untuk di Sumatera dan Kalimantan. Kalau di Jawa hanya butuh Rp 36.000," bebernya.
Lebih lanjut, Nurhuda mengatakan bahwa produksi kelapa sawit di Indonesia pada 2010 diperkirakan sekitar 100 juta ton. Dari jumlah tersebut dihasilkan CPO sebesar 24 persen. Cangkang sawit sebagai limbah berjumlah sekitar 5 persen dari TBS atau 5 juta ton per tahun.
"Jika digunakan untuk bahan bakar kompor Biomass UB-03-1 berbahan bakar 'cangkang' dengan kebutuhan rata-rata harian sebesar 1 kg per keluarga, maka jumlah tersebut mencukupi kebutuhan 13 juta keluarga di Indonesia," katanya.
Karena cangkang tersedia di Sumatera dan Kalimantan, penduduk dua wilayah tersebut dapat mencukupi kebutuhan energi mereka.
"Bila limbah-limbah lain, misalkan sabut kelapa sawit atau blotong-nya digunakan sebagai pelet, maka akan banyak lagi keluarga yang dapat mencukupi kebutuhannya dari limbah kelapa sawit. Ada juga bahan bakar alternatif selain 'cangkang', yakni jerami padi, tebon jagung, kaul padi, blotong tebu, dan blotong aren," ungkapnya.Bahan alternatif tersebut juga dapat menghasilkan nyala api biru, asalkan dibentuk dalam bentuk pelet, yaitu briket dalam ukuran yang lebih kecil. "Dengan karya saya ini, kami hanya mengimbau, biomass jangan diekspor ke luar negeri karena unsur hara tanah dan berbagai mineral akan berpindah ke negeri orang," katanya.
Jika ekspor biomass di Indonesia diteruskan, maka Indonesia akan kering dan tandus karena tanah akan kehilangan unsur haranya. "Semoga Indonesia tak selalu membuang kekayaannya. Semoga Indonesia tak membuat rakyatnya miskin di negeri yang kaya," harapnya.