Dalam wawancara dengan Guardian, Hawking menilai kepercayaan manusia akan surga dan kehidupan setelah kematian alias akhirat hanyalah dongeng orang-orang yang takut kematian.
Dalam penolakannya akan kenyamanan agama, Hawking menambahkan tak ada apapun yang menunggu manusia saat otak ‘berkedip’ untuk terakhir kalinya.
Hawking didiagnosa menderita penyakit neurone motorik di usia 21 dan divonis takkan hidup lama. Alih-alih membuat hidupnya di bawah awan gelap, Hawking mengaku penyakit ini malah jadi momentumnya untuk menikmati hidup.
“Saya sudah hidup dengan prediksi segera mati selama 49 tahun. Saya tidak takut mati, tapi saya pun tidak akan terburu-buru mati. Masih banyak yang harus saya lakukan,” katanya.
Lebih lanjut, Hawking menyatakan bahwa otak manusia itu seperti komputer yang berhenti bekerja ketika komponen-komponennya gagal. “Tidak ada itu surga dan kehidupan setelah mati bagi komputer rusak. Itu dongeng bagi manusia yang takut kegelapan,” tambahnya.
Buku teranyar Hawking, Grand Design, memicu kontroversial. Dalam buku ini Hawking menilai Tuhan tidak ikut campur dalam pembentukan alam semesta. Hal ini memicu reaksi, terutama dari kalangan agamawan, termasuk kepala rabi, Lord Sacks, yang menuduh Hawking telah melakukan kesalahan fundamental dalam logika.
Ahli fisika berusia 69 tahun itu sakit parah setelah tur ceramah di Amerika Serikat pada 2009. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit Addenbrookes. Kini, dia kembali jadi Direktur Riset di Canbridge.
Dalam wawancara ini, Hawking lebih memilih menekankan potensi manusia di Bumi dengan memanfaatkan hidup sebaik-baiknya. Menjawab pertanyaan, bagaimana seharusnya kita hidup, Hawking menjawab simpel,” kita harus mencari nilai terbesar dari tindakan kita.”
Sumber