Teresa Weiler kalut melihat data yang menyebut orangtuanya memiliki
hubungan darah. Ayah dan ibunya ternyata saudara kandung. Ia seolah
mendapat jawaban atas kondisi fisiknya yang sangat lemah.
Teresa yang kala itu berusia 20 tahun memiliki keyakinan bahwa pernikahan terlarang orangtuanya menjadi pemicu cacat genetik di tubuhnya. Cacat yang memicu masalah kesehatan dan kejiwaan sejak kecil.
Wanita itu sengaja mencari tahu identitas orangtuanya untuk melihat riwayat genetiknya. Maklum, setelah lahir ia ditinggal ibu kandungnya di rumah sakit. Dan setelah tiga tahun menghuni panti asuhan di Brentwood, Essex, ia menjadi bagian sebuah keluarga angkat, Terence dan Truda Weiler.
Dalam keluarga angkatnya yang harmonis, Teresa menghabiskan masa-masa kanak-kanaknya dengan bahagia bersama saudara tiri. Hanya, selama tumbuh kembang menuju dewasa, sejumlah gangguan kesehatan muncul.
Di usia remaja ia didiagnosis menderita osteorathiritis. “Saya senang bermain hockey. Bahkan sempat mengikuti kejuaraan tingkat kabupaten. Namun saat umur 17 tahun, tempurung lutut kanan saya hancur ketika dalam sebuah pertandingan. Saya harus menjalani operasi,” katanya, seperti dikutip The Sun.
Selama 30 tahun ia menyimpan rahasia orangtua tentang kandungnya. Psikologis terganggu, terutama dalam pergaulan. Ia menjaga jarak terhadap teman laki-laki. Ia akan berpikir berulang kali ketika ingin dipacari teman prianya.
“Saya single. Walaupun saya tetap bahagia dengan pekerjaan dan hidup, saya tetap merasa telah mengorbankan sebagian besar kehidupan karena orangtua saya,” kata wanita yang kini berusia 52 tahun.
Masalah itu juga membuatnya tak bisa memiliki anak. Selain fisik lemah, ia takut melakukan program kehamilan lantaran khawatir menurunkan masalah genetika kepada buah hatinya. “Saya memutuskan untuk tidak menjadi seorang ibu,” ujar wanita yang kini bekerja sebagai manajer taman kanak-kanak.
Tumbuh di tengah keluarga religius, nilai-nilai agama Katolik begitu ketat diterapkan. Jelas, perkawinan antara kakak dan adik berseberangan dengan agamanya. Tak hanya soal kesehatan, ini juga membuatnya merasa kotor dan sakit.
Ia merasa terpukul. Ia menggugat ibunya yang tega meninggalkannya di rumah sakit usai kelahiran. Namun di balik rasa sakit hati, ia sempat menemui ibunya walau hanya 20 menit. “Saat itu, ia lalu meninggalkan nomor telepon. Namun, ketika saya hubungi, tidak bisa. Sejak itu kami tak pernah komunikasi lagi.”
Sumber
Teresa yang kala itu berusia 20 tahun memiliki keyakinan bahwa pernikahan terlarang orangtuanya menjadi pemicu cacat genetik di tubuhnya. Cacat yang memicu masalah kesehatan dan kejiwaan sejak kecil.
Wanita itu sengaja mencari tahu identitas orangtuanya untuk melihat riwayat genetiknya. Maklum, setelah lahir ia ditinggal ibu kandungnya di rumah sakit. Dan setelah tiga tahun menghuni panti asuhan di Brentwood, Essex, ia menjadi bagian sebuah keluarga angkat, Terence dan Truda Weiler.
Dalam keluarga angkatnya yang harmonis, Teresa menghabiskan masa-masa kanak-kanaknya dengan bahagia bersama saudara tiri. Hanya, selama tumbuh kembang menuju dewasa, sejumlah gangguan kesehatan muncul.
Di usia remaja ia didiagnosis menderita osteorathiritis. “Saya senang bermain hockey. Bahkan sempat mengikuti kejuaraan tingkat kabupaten. Namun saat umur 17 tahun, tempurung lutut kanan saya hancur ketika dalam sebuah pertandingan. Saya harus menjalani operasi,” katanya, seperti dikutip The Sun.
Selama 30 tahun ia menyimpan rahasia orangtua tentang kandungnya. Psikologis terganggu, terutama dalam pergaulan. Ia menjaga jarak terhadap teman laki-laki. Ia akan berpikir berulang kali ketika ingin dipacari teman prianya.
“Saya single. Walaupun saya tetap bahagia dengan pekerjaan dan hidup, saya tetap merasa telah mengorbankan sebagian besar kehidupan karena orangtua saya,” kata wanita yang kini berusia 52 tahun.
Masalah itu juga membuatnya tak bisa memiliki anak. Selain fisik lemah, ia takut melakukan program kehamilan lantaran khawatir menurunkan masalah genetika kepada buah hatinya. “Saya memutuskan untuk tidak menjadi seorang ibu,” ujar wanita yang kini bekerja sebagai manajer taman kanak-kanak.
Tumbuh di tengah keluarga religius, nilai-nilai agama Katolik begitu ketat diterapkan. Jelas, perkawinan antara kakak dan adik berseberangan dengan agamanya. Tak hanya soal kesehatan, ini juga membuatnya merasa kotor dan sakit.
Ia merasa terpukul. Ia menggugat ibunya yang tega meninggalkannya di rumah sakit usai kelahiran. Namun di balik rasa sakit hati, ia sempat menemui ibunya walau hanya 20 menit. “Saat itu, ia lalu meninggalkan nomor telepon. Namun, ketika saya hubungi, tidak bisa. Sejak itu kami tak pernah komunikasi lagi.”
Sumber