Belanda & Inggris Tukar Singapura dengan Bengkulu

 

 
Artikel Sumatra itu milik Malaysia yang di-posting oleh Mohd Am di Malaysia Forum pada 12 Desember 2010 hangat diperbincangkan. Bahkan, hingga Kamis (27/1/2011) pukul 20.00 WIB, sebanyak 11.441 komentar muncul di-posting-an tersebut.
Sejumlah ahli sejarah turut berkomentar. Pasalnya, dalam postingan tersebut disebutkan bahwa sejumlah kawasan Sumatera yang dulunya merupakan jajahan Kerajaan Johor, termasuk wilayah pantai timur Sumatera, harus kembali ke asalnya, yakni masuk Malaysia.
Menanggapi hal ini, sejarawan Sumatera Utara Phil Ichwan Azhari mengatakan setelah kolonial masuk ke Semenanjung Malaka, Belanda berhasil mengalahkan Portugis dibantu Kerajaan Johor. Mereka pun berhasil menduduki wilayah tersebut, namun bukan menyerahkan kepada Kerajaan Johor.

Sedangkan Inggris mendapatkan sebagian wilayah Semenanjung Melayu tersebut. Kemudian, mereka Inggris melakukan ekspansi di sebagian wilayah Sumatera, terutama di Bengkulu, hingga kemudian mendirikan Benteng Marlborough.
“Dulu wilayah Sumatera seperti Bengkulu termasuk daerah jajahan Inggris. Sedangkan Malaka masuk daerah jajahan Belanda yang jadi milik Indonesia,” ungkap sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed) ini kepada okezone, Kamis (27/1/2011).
Namun, kemudian kedua wilayah tersebut ditukar Inggris dan Belanda melalui Traktat London 1824. Dalam perjanjian tersebut, dijelaskan bahwa Belanda menyerahkan Malaka dan Semenanjung Melayu termasuk Penang dan sebuah pulau kecil tidak bertuan, Singapura kepada Inggris.
Sedangkan, Inggris (Britania) menyerahkan pabriknya di Bengkulu dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatera kepada Belanda. Pertukaran kekuasaan ini juga termasuk dalam Kepulauan Karimun, Batam, dan pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari Selat Singapura.
Perjanjian tersebut dilakukan pada 17 Maret 1824 di London, dimana Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Inggris diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn. Ini dilakukan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakuan Perjanjian Britania-Belanda 1814.
“Jadi, berdasarkan perjanjian itu, Bengkulu jadi milik Belanda, dan Malaka jadi milik Inggris. Itu mereka lakukan agar mudah mengontrol wilayahnya masing-masing, karena jajahan Inggris berada di Semenanjung Melayu dan jajahan Belanda di Indonesia,” jelas lulusan doktoral dari Jerman itu.
Hal ini sebenarnya juga telah diungkap oleh Mohd Am dalam postingannya di Forum Malaysia. Di situ ditulis, “Tetapi penjanjian inggeris-belanda telah memecahkan kawasan jajahan Johor iaitu Riau-Lingga dan sebahagian besar Sumatera.”
Dilanjutkan Ichwan lagi, di zaman sekarang ini seharusnya setiap orang harus bisa memahami nilai historis dari suatu peristiwa tersebut. “Negara modern sekarang, kan warisan kolonial. Bisa saja kita saling klaim. Bahkan, Indonesia bisa mengklaim Malaka adalah milik Indonesia,” sebutnya.
Namun, tentu saja itu harus dilakukan berdasarkan sejarah yang membangunnya. “Tapi, pengklaiman itu sudah ada alasan historisnya belum? Kalau tidak ada, saya juga tidak tertarik untuk meladeninya,” tandas dosen yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Sejarah (PUSSIS) Unimed itu lagi.

Sumber

Leave a Reply