PENERIMA penghargaan hadiah Nobel sudah pasti bukan orang sembarangan.
Apalagi untuk kategori sains, dibutuhkan kegeniusan untuk meraih hadiah
bergengsi ini.
Menariknya, dari sejumlah penerima Nobel yang ada, kelompok masyarakat Yahudi yang mendominasi. Wajar jika kaum ini sering disebut sebagai kelompok masyarakat genius. Lantas, apa yang menyebabkan masyarakat Yahudi begitu cerdas? Ada anggapan yang mengatakan bahwa kecerdasan Yahudi sudah dilatih sebelum mereka lahir. Para ibu bangsa Yahudi yang sedang hamil memiliki pemahaman bahwa anak yang dikandungnya harus sudah diberi pelajaran meski hanya lewat pendengaran.
Karena itu, tidak jarang kaum ibu bangsa Yahudi yang sedang hamil sering mendengarkan musik klasik. Alasannya, musik klasik bisa memengaruhi perkembangan otak si bayi. Sang ibu bangsa Yahudi yang sedang mengandung akan lebih sering bernyanyi dan bermain piano. Selain itu, si ibu dan suaminya juga akan banyak membeli buku matematika dan mereka menyelesaikan soal secara bersama. Si ibu akan terus mengerjakan soal-soal matematika hingga sampai waktu melahirkan.
Di samping itu, si ibu suka memakan kacang badam dan kurma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan kacang badam dan berbagai jenis kacang-kacangan. Dalam pandangan bangsa Yahudi, daging ikan sangat baik untuk perkembangan otak. Sementara kepala ikan mengandung bahan kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan pertumbuhan otak anak di dalam kandungan.
Karena itu, ada semacam ”ritual” dalam bangsa Yahudi bahwa ada kewajiban bagi ibu hamil untuk mengonsumsi pil minyak ikan. Namun, sebuah penelitian menunjukkan fakta lain. Kepintaran bangsa Yahudi lebih disebabkan penyakit genetika yang disebut ashkenazi. Salah satu penyakit turunan yang berhubungan dengan otak ini justru membuat mereka memiliki skor intelligent quotient (IQ) tertinggi di dunia. Ashkenazi selain membuat cerdas juga sangat mematikan.
Setidaknya itulah yang diungkapkan dalam makalah Prefesor Gregory Cochran dan Henry Harpending yang diterbitkan pada 2005. Cochran selalu penasaran mengapa bangsa Yahudi sangat pintar. Dia menyangsikan teori seleksi alam yang menyebabkan bangsa Yahudi menjadi pintar. Cochran menelusuri sejumlah jurnal ilmiah dan dia mengungkapkan teori baru kepada Harpending, profesor kehormatan di Universitas Utah, AS, yang sebelumnya sudah melakukan penelitian.
Harpending juga anggota National Academy of Sciences. Cochran menilai gen yang rusaklah penyebab orang Yahudi menjadi lebih pintar.Kesimpulan Cochran ini membuka perdebatan baru menyangkut hubungan antara DNA dengan IQ. Lalu, Cochran (psikolog) dan Harpending (peneliti pendidikan) menyebut ashkenazi yang menyebabkan naiknya kekuatan otak. Dari hasil penelitian yang dipublikasikan pada awal 2009 oleh Departemen Antropologi Universitas Utah, AS, itu diungkapkan adanya kontroversi tentang evolusi manusia.
Kedua ilmuwan itu mendapati rata-rata IQ orang Yahudi adalah 107,5 hingga 115. Angka itu di atas rata-rata orang Eropa yang hanya mencapai 100. Setidaknya, meski berbeda 7 nilai, sudah cukup untuk membedakan tingkat kegeniusan. Karena penyakit genetika itulah, di kalangan bangsa Yahudi ada kelompok yang disebut Yahudi Ashkenazi. Ini merupakan salah satu kelompok etnik cerdas di dunia.
Menurut penelitian mereka, terdapat data yang menyebutkan IQ yang luar biasa tinggi terdapat pada Yahudi Ashkenazi (Yahudi keturunan Eropa). Rata-rata IQ orang Eropa adalah 100, sementara Yahudi keturunan Eropa rata-rata menghasilkan skor IQ berkisar 107,5–115. Hal ini memungkinkan Yahudi Ashkenazi mempunyai kemungkinan enam kali lipat untuk menjadi seorang genius daripada orang Eropa non-Yahudi.
Kedua ilmuwan itu menyatakan hasil inteligensia Yahudi Ashkenazi berasal dari tiga faktor. Pertama, akibat pengaruh tingkat historis perkawinan yang rendah. Kedua, disebabkan penganiayaan sosial dan politik abad pertengahan yang memaksa Yahudi Ashkenazi keluar dari pekerjaan umum ke pekerjaan berbasis kecerdasan sehingga menghasilkan tingkat lebih tinggi untuk orang Yahudi.
Ketiga, akibat kecenderungan menderita penyakit yang memengaruhi pengolahan sphingolipids, molekul lemak yang mengirimkan sinyal saraf. Yahudi Ashkenazi secara tidak proporsional terkena beberapa gangguan mematikan, termasuk tay-sachs, sebuah penyakit yang melemahkan dan menimbulkan gangguan neurologis fatal dengan harapan hidup 4 tahun. Selain itu, ada penyakit otak canavan dengan harapan hidup 5 tahun dan penyakit gaucher di mana lemak menumpuk di limpa, hati, sumsum tulang, paru-paru, dan bahkan otak.
Ada juga penyakit niemann-pick tipe Adi mana bayi mengakumulasi jaringan lemak fatal dalam berbagai organ. Hal ini akan menyebabkan kerusakan otak yang mendalam dan kematian sebelum umur 2 tahun. Namun, kedua ilmuwan itu yakin bahwa berbagai penyakit mematikan yang diidap bangsa Yahudi justru memiliki keuntungan heterozigot (suatu mekanisme yang mempertahankan keragaman kumpulan gen eukariotis dengan cara memberikan keberhasilan reproduksi).
Artinya, keuntungan ini memiliki dua salinan dari mutasi gen. Di di satu sisi menyebabkan masalah kesehatan yang serius, tetapi di sisi lain memiliki satu salinan yang menyebabkan efek kesehatan positif. Meski banyak ”penyakit turunan” yang fatal yang dialami bangsa Yahudi, mereka terus mewariskan inteligensia yang tinggi.
Cochran memberikan penegasan bahwa kecerdasan Yahudi Ashkenazi akan terus menjadi kontroversi karena ketidaknyamanan masyarakat dengan label satu kelompok etnik lebih cerdas daripada yang lain. Padahal, masyarakat bisa menerima bahwa beberapa kelompok akan lebih tinggi, pendek, atau lebih cepat. Hasil penelitian Cochran dan Harpending yang berjudul ”Natural History of Ashkenazi Intelligence” juga menyebutkan, populasi orang Yahudi di AS hanya sekira 3 persen dari total jumlah masyarakat AS.
Kendati begitu, mereka berhasil meraih 27 persen dari hadiah Nobel di bidang ilmu pengetahuan sejak 1950. Hal yang sama juga terjadi pada penghargaan ACM Turing Awards di mana bangsa Yahudi berhasil meraih 25 persen penghargaan yang diberikan Association for Computing Machinery karena kontribusi yang bersifat teknis pada dunia ilmu komputer.
Selain itu, tidak sedikit bangsa Yahudi yang menyandang gelar sebagai juara dunia catur. Sejumlah nama dari bangsa Yahudi yang telah meraih Nobel di antaranya Bernard Katz karena teori transmisi neuromuskuler, Andrew Schally yang meraih Nobel dalam endokrinologi. Ada juga George Wald (Nobel untuk melanjutkan pemahaman kita tentang mata manusia) dan Stanley Cohen (Nobel dalam embriologi).
Menariknya, dari sejumlah penerima Nobel yang ada, kelompok masyarakat Yahudi yang mendominasi. Wajar jika kaum ini sering disebut sebagai kelompok masyarakat genius. Lantas, apa yang menyebabkan masyarakat Yahudi begitu cerdas? Ada anggapan yang mengatakan bahwa kecerdasan Yahudi sudah dilatih sebelum mereka lahir. Para ibu bangsa Yahudi yang sedang hamil memiliki pemahaman bahwa anak yang dikandungnya harus sudah diberi pelajaran meski hanya lewat pendengaran.
Karena itu, tidak jarang kaum ibu bangsa Yahudi yang sedang hamil sering mendengarkan musik klasik. Alasannya, musik klasik bisa memengaruhi perkembangan otak si bayi. Sang ibu bangsa Yahudi yang sedang mengandung akan lebih sering bernyanyi dan bermain piano. Selain itu, si ibu dan suaminya juga akan banyak membeli buku matematika dan mereka menyelesaikan soal secara bersama. Si ibu akan terus mengerjakan soal-soal matematika hingga sampai waktu melahirkan.
Di samping itu, si ibu suka memakan kacang badam dan kurma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan kacang badam dan berbagai jenis kacang-kacangan. Dalam pandangan bangsa Yahudi, daging ikan sangat baik untuk perkembangan otak. Sementara kepala ikan mengandung bahan kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan pertumbuhan otak anak di dalam kandungan.
Karena itu, ada semacam ”ritual” dalam bangsa Yahudi bahwa ada kewajiban bagi ibu hamil untuk mengonsumsi pil minyak ikan. Namun, sebuah penelitian menunjukkan fakta lain. Kepintaran bangsa Yahudi lebih disebabkan penyakit genetika yang disebut ashkenazi. Salah satu penyakit turunan yang berhubungan dengan otak ini justru membuat mereka memiliki skor intelligent quotient (IQ) tertinggi di dunia. Ashkenazi selain membuat cerdas juga sangat mematikan.
Setidaknya itulah yang diungkapkan dalam makalah Prefesor Gregory Cochran dan Henry Harpending yang diterbitkan pada 2005. Cochran selalu penasaran mengapa bangsa Yahudi sangat pintar. Dia menyangsikan teori seleksi alam yang menyebabkan bangsa Yahudi menjadi pintar. Cochran menelusuri sejumlah jurnal ilmiah dan dia mengungkapkan teori baru kepada Harpending, profesor kehormatan di Universitas Utah, AS, yang sebelumnya sudah melakukan penelitian.
Harpending juga anggota National Academy of Sciences. Cochran menilai gen yang rusaklah penyebab orang Yahudi menjadi lebih pintar.Kesimpulan Cochran ini membuka perdebatan baru menyangkut hubungan antara DNA dengan IQ. Lalu, Cochran (psikolog) dan Harpending (peneliti pendidikan) menyebut ashkenazi yang menyebabkan naiknya kekuatan otak. Dari hasil penelitian yang dipublikasikan pada awal 2009 oleh Departemen Antropologi Universitas Utah, AS, itu diungkapkan adanya kontroversi tentang evolusi manusia.
Kedua ilmuwan itu mendapati rata-rata IQ orang Yahudi adalah 107,5 hingga 115. Angka itu di atas rata-rata orang Eropa yang hanya mencapai 100. Setidaknya, meski berbeda 7 nilai, sudah cukup untuk membedakan tingkat kegeniusan. Karena penyakit genetika itulah, di kalangan bangsa Yahudi ada kelompok yang disebut Yahudi Ashkenazi. Ini merupakan salah satu kelompok etnik cerdas di dunia.
Menurut penelitian mereka, terdapat data yang menyebutkan IQ yang luar biasa tinggi terdapat pada Yahudi Ashkenazi (Yahudi keturunan Eropa). Rata-rata IQ orang Eropa adalah 100, sementara Yahudi keturunan Eropa rata-rata menghasilkan skor IQ berkisar 107,5–115. Hal ini memungkinkan Yahudi Ashkenazi mempunyai kemungkinan enam kali lipat untuk menjadi seorang genius daripada orang Eropa non-Yahudi.
Kedua ilmuwan itu menyatakan hasil inteligensia Yahudi Ashkenazi berasal dari tiga faktor. Pertama, akibat pengaruh tingkat historis perkawinan yang rendah. Kedua, disebabkan penganiayaan sosial dan politik abad pertengahan yang memaksa Yahudi Ashkenazi keluar dari pekerjaan umum ke pekerjaan berbasis kecerdasan sehingga menghasilkan tingkat lebih tinggi untuk orang Yahudi.
Ketiga, akibat kecenderungan menderita penyakit yang memengaruhi pengolahan sphingolipids, molekul lemak yang mengirimkan sinyal saraf. Yahudi Ashkenazi secara tidak proporsional terkena beberapa gangguan mematikan, termasuk tay-sachs, sebuah penyakit yang melemahkan dan menimbulkan gangguan neurologis fatal dengan harapan hidup 4 tahun. Selain itu, ada penyakit otak canavan dengan harapan hidup 5 tahun dan penyakit gaucher di mana lemak menumpuk di limpa, hati, sumsum tulang, paru-paru, dan bahkan otak.
Ada juga penyakit niemann-pick tipe Adi mana bayi mengakumulasi jaringan lemak fatal dalam berbagai organ. Hal ini akan menyebabkan kerusakan otak yang mendalam dan kematian sebelum umur 2 tahun. Namun, kedua ilmuwan itu yakin bahwa berbagai penyakit mematikan yang diidap bangsa Yahudi justru memiliki keuntungan heterozigot (suatu mekanisme yang mempertahankan keragaman kumpulan gen eukariotis dengan cara memberikan keberhasilan reproduksi).
Artinya, keuntungan ini memiliki dua salinan dari mutasi gen. Di di satu sisi menyebabkan masalah kesehatan yang serius, tetapi di sisi lain memiliki satu salinan yang menyebabkan efek kesehatan positif. Meski banyak ”penyakit turunan” yang fatal yang dialami bangsa Yahudi, mereka terus mewariskan inteligensia yang tinggi.
Cochran memberikan penegasan bahwa kecerdasan Yahudi Ashkenazi akan terus menjadi kontroversi karena ketidaknyamanan masyarakat dengan label satu kelompok etnik lebih cerdas daripada yang lain. Padahal, masyarakat bisa menerima bahwa beberapa kelompok akan lebih tinggi, pendek, atau lebih cepat. Hasil penelitian Cochran dan Harpending yang berjudul ”Natural History of Ashkenazi Intelligence” juga menyebutkan, populasi orang Yahudi di AS hanya sekira 3 persen dari total jumlah masyarakat AS.
Kendati begitu, mereka berhasil meraih 27 persen dari hadiah Nobel di bidang ilmu pengetahuan sejak 1950. Hal yang sama juga terjadi pada penghargaan ACM Turing Awards di mana bangsa Yahudi berhasil meraih 25 persen penghargaan yang diberikan Association for Computing Machinery karena kontribusi yang bersifat teknis pada dunia ilmu komputer.
Selain itu, tidak sedikit bangsa Yahudi yang menyandang gelar sebagai juara dunia catur. Sejumlah nama dari bangsa Yahudi yang telah meraih Nobel di antaranya Bernard Katz karena teori transmisi neuromuskuler, Andrew Schally yang meraih Nobel dalam endokrinologi. Ada juga George Wald (Nobel untuk melanjutkan pemahaman kita tentang mata manusia) dan Stanley Cohen (Nobel dalam embriologi).