Dalam
buku berjudul Westerling, 'De Eenling' (1982), buku yang ditulis oleh
Westerling sendiri bersama Dominique Venner, bab yang mengisahkan
tindakannya di Sulawesi Selatan diberinya judul Kesengsaraan Rakyat.
Buku
itu merupakan versi rombakan dari otobiografinya, yang semula terbit
dalam bahasa Prancis (1952), dan buku karya Dominique Venner, ahli
sejarah militer berkebangsaan Prancis (1977). Dalam buku itu,
Westerling, yang selain jago tembak juga seorang pengisah ulung,
menceritakan tahap demi tahap rencana pembunuhannya di Sulawesi dengan
penuh detail. Arsip dan dokumen memberi gambaran lebih jelas tentang
suasana sekitar peristiwa itu. Namun dalam buku itu Westerling tidak
memberikan angka pasti berapa jumlah korban jatuh oleh ulahnya.
Dalam
Challange to Terror, otobiografinya yang diterjemahkan dari bahasa
Prancis oleh Waverley Root, Raymond 'Turk' Westerling menulis:
Orang-orang Republik Jawa itu bilang korban yang jatuh di Sulawesi ada
15.000. Ini masih mending. Belakangan tambah lagi jadi 20.000 dan
tambah lagi jadi 30.000 dan akhirnya jadi 42.000. mereka mau supaya
orang mencaciku, sampai-sampai PBB diberi tahu. Yang betulnya: kurang
dari 600 'teroris' yang mati, dan dari pihakku 3 orang. Bukankah
maksudku sekedar menindas 'teror' dan menghalau Jawa-Jawa itu dari
Sulawesi?"
Kamis,
5 Desember 1946 (ada juga versi yang menyebut 6 Desember), Pasukan
Khusus Baret Hijau mendarat di Makassar di bawah pimpinan Letnan Satu
Westerling. Sebelumnya, pertengahan November, Pembantu Letnan Vermeulen
telah tiba di Makassar guna mencari sasaran, agar tugas Westerling
lancar. Di Sulawesi Selatan inilah pangkat pimpinan Baret Hijau
dinaikkan menjadi kapten oleh Kolonel De Vries, Komandan Teritorial
Borneo dan Timur Besar.
Belum
lima hari di Makassar, Westerling memulai gerakannya. Dinihari 11
Desember, Makassar timur mendapat giliran pertama. Pilihan daerah
operasi ini karena diduganya dua pimpinan gerakan perjuangan
bersembunyi di kampung Batua. Yakni Robert Wolter Monginsidi dan Ali
Malakka.
Pasukan
Baret Hijau, jumlah sekitar 130 orang, dipecah dua. Tugasnya jelas dan
gamblang: mengumpulkan penduduk kampung, mencari senjata. Bila di
sebuah rumah kedapatan senjata, langsung rumah itu dibakar.
Kepada
orang-orang yang dikumpulkan, Westerling berpidato bahwa tindakannya
bukan tindakan politik, demikian kata Willem Ijzereef, sejarawan
Belanda, dalam bukunya De Zuid-Celebes Affaire, Kapitein Westerling en
de standrechtelijk executies (Peristiwa Sulawesi Selatan, Kapten
Westerling dan Pembunuhan dalam Keadaan Hukum Perang). Dan segera saja
yang disebutkannya sebagai bukan tindakan politik itu terwujud. Seorang
ditembak mati. Kelompok Baret Hijau yang lain melihat sekelompok
lelaki bersenjata. Segera tujuh orang tergeletak tak bernyawa.
Hari
itu sekitar 3.000 penduduk dikumpulkan dari Batua dan sekitarnya.
Laki-laki dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Kemudian Westerling
membacakan 74 nama yang dicari, yang disebutnya 'pemimpin gerakan
perlawanan, pembunuh, dan perampok.' Setelah mengintimidasi sambil
memberikan contoh nasib orang yang tak mau menunjukkan nama-nama itu
(langsung ditembak di tempat) diperolehlah 32 nama dari 74 yang dicari.
32 orang itu begitu saja dinyatakan bersalah, lalu diberondong
senapan. Belum cukup. Kampung Batua lalu dihujani mortir, kemudian
dibakar. Dilaporkan operasi dari pukul setengah empat pagi sampai
setengah satu siang itu menelan 42 korban.
Esoknya,
12 Desember, daerah delta Sungai Jeneberang pun dioperasi. Diduga di
situlah perdagangan senjata 'kaum ekstremis' dilakukan. Sebuah kampung
dibakar. Sekitar 1.500 penduduk dikumpulkan. Sebuah perahu yang
kebetulan lewat, tiga penumpangnya langsung dihabisi.
Dengan
interogasi kilat dari 1.500 orang yang dikumpulkan diperoleh 61 nama
yang langsung dihukum mati. Jumlah korban hari itu 80-an. Setelah dua
kali operasi Westerling mendapat pujian dari Kolonel De Vries. Penguasa
teritorial itu pun memuji-muji cara Westerling bertindak.
Kampung
Kalukuang, jadi sasaran hari berikutnya. Terjadi sedikit perlawanan.
Tapi kedua belas yang melawan itu tewas seluruhnya. Penduduk kampung
lalu dikumpulkan di suatu tempat. Delapan orang mencoba melarikan diri,
semuanya ditembak mati. Seorang perempuan meninggal.
Pengusutan pun segera dilakukan. Ditemukanlah Letnan Tentara Rakyat Indonesia Abdul Latief dan sejumlah anggota pasukannya. Abdul Latief tak ikut ditembak mati karena bisa bahasa Belanda. Ia cuma ditawan. Hal itu diakui Westerling sendiri kemudian.
Pengusutan pun segera dilakukan. Ditemukanlah Letnan Tentara Rakyat Indonesia Abdul Latief dan sejumlah anggota pasukannya. Abdul Latief tak ikut ditembak mati karena bisa bahasa Belanda. Ia cuma ditawan. Hal itu diakui Westerling sendiri kemudian.
"Ya,
nasionalis Abdul Latief dan Hamzah, mereka itu nasionalis. Saya
berkeyakinan dia pemimpin yang baik dan muda, jujur, dan banyak
menyusahkan saya, tapi saya tidak membunuhnya. Juga Wolter Monginsidi,
dia pintar berkelahi tapi dia bukan penjahat. Saya pernah bertempur
melawan dia," (Ekspres, 22 Agustus 1970). Operasi dari pukul tiga pagi
sampai pukul empat seperempat sore itu menelan nyawa 83 orang.
Operasi
demi operasi Westerling terus menjumpai kebandelan penduduk. Dan
'upacara' mengambil seorang dari penduduk yang telah dikumpulkan, lalu
memintanya menunjukkan yang mana 'kaum ektremis', selalu makan korban.
Seorang atau dua orang yang dicomot biasanya tetap membisu. Dan maut
pun datang. Kalau sudah begitu, baru ada yang menunjuk-nunjuk, entah
yang ditunjuknya benar pejuang atau bukan.
Dalam
buku Willem Ijzereef itu pula dibandingkan jumlah korban di Sulawesi
Selatan menurut Westerling dan menurut pihak militer Belanda sendiri,
selama 11 Desember 1946 sampai dengan 5 Maret 1947. Operasi militer
sampai dengan 17 Februari menurut Westerling ia hanya membunuh 350
orang. Sementara itu, pihak militer Belanda sendiri mencatat korban
Westerling sampai hari itu sekitar 1.000 orang.
Teror
kemudian diteruskan ke Parepare, Mandar, dan Bantaeng. Di tiga daerah
ini dikabarkan hampir 700 orang kena bantai. Jumlah itu semua belum
termasuk korban yang oleh Westerling disebut "perampok" yakni sekitar
2.660 orang. Lalu mereka yang tak sempat menyelamatkan diri ketika
kampung dibakar, lebih dari 550 orang. Dengan data yang dikemukakan
Ijzereef, secara kasar korban Westerling sekitar 5.000 orang.
Berbagai versi jumlah korban
Menurut
De Jong, jumlah korban sesungguhnya, jika ingin mencoba obyektif
memandang sejarah bukanlah 40 ribu melainkan 4 ribu orang. Adapun angka
40.000 yang populer itu, menurut Sekretaris Corps Hasanuddin yang
diwawancarai Harian Ekspres pada tahun 1970 itu berawal pada peringatan
korban teror Westerling di Yogyakarta, 1949, Kahar Muzakkar berpidato
di Kepatihan Yogyakarta, di hadapan Presiden Soekarno. Di situlah angka
40.000 mulai disebut-sebut. (Tempo, 12/12/1987)
Tak pernah ada angka pasti tentang jumlah korban yang jatuh. Angka-angka itu terus jadi misteri, sebuah sengkarut.
Satu
hal yang pasti, di Makassar sebuah jalan diberi nama Jalan Korban
40.000 Jiwa dan di sana dibangun sebuah monumen 'peti mati' untuk
mengenang tragedi itu. Monumen itu memang berbentuk peti mati berukuran
6 x 6 x 12 meter dengan bagian ujungnya agak mengecil. Peti mati itu
diusung beberapa patung lelaki di atas kolam yang diibaratkan
rawa-rawa. Sebelum Monumen itu dibangun di sana, di tempat pembantaian
itu, memang ada rawa-rawa yang kemudian ditimbun. Tepat 28 tahun
setelah pistol-pistol anak-buah Westerling membunuh rakyat di tempat
itu, 11 Desember 1974, Walikota Makassar, M Patompo meresmikan monumen
itu. (Tempo, 11/01/1975)
Oleh
Pemerintah Kota Makassar, Monumen Korban 40.000 Jiwa (sering juga
disebut Monumen 11 Desember) kini dijadikan salah satu obyek wisata
sejarah dan budaya. Namun meskipun telah ditetapkan sebagai obyek
wisata, tempat itu tak pernah ramai dikunjungi. Banyak orang yang
tinggal di sekitar monumen itu bahkan tak lagi tahu mengapa ada
bangunan seperti itu di sana—seperti juga mengapa nama jalan yang
menjadi alamat rumah mereka Jalan Korban 40 Ribu Jiwa.
Setelah 60 bulan Desember berlalu, tampaknya orang-orang tak lagi peduli dan tak mau tahu tragedi pembantaian Westerling itu.